Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sedang meninjau potensi pemungutan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) terhadap perusahaan layanan digital multinasional yang tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia. Namun, sejumlah aturan saat ini masih menjadi penghalang upaya tersebut.
Aturan Kehadiran Fisik dan Tax Treaty
Prianto Budi Saptono, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa pemungutan pajak harus berdasarkan asas legalitas, yang saat ini diatur dalam Undang-Undang PPh (UU 7/1983 yang terakhir diubah melalui UU 7/2021). Menurutnya, UU PPh masih mensyaratkan kehadiran fisik untuk mengenakan PPh Badan pada perusahaan digital multinasional (MNC digital).
“Kehadiran fisik merujuk pada Pasal 2 ayat (5) huruf p UU PPh, yang mencakup komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki atau digunakan perusahaan di Indonesia,” jelas Prianto. Namun, ia juga menekankan bahwa ketentuan khusus seperti Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam Pasal 32A UU PPh bisa mengesampingkan aturan kehadiran fisik jika terjadi pertentangan.
“Jika P3B direvisi melalui kesepakatan bilateral dengan negara asal perusahaan, seperti AS, maka aturan kehadiran fisik bisa diabaikan,” tambah Prianto. Artinya, perusahaan seperti Netflix atau Meta (pemilik Facebook, Instagram, dan WhatsApp) yang tidak memiliki kantor fisik di Indonesia tetap bisa dikenai PPh Badan jika Indonesia dan AS menyepakati perubahan P3B.
Upaya DJP dan Tantangan Global
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengaku sedang mengkaji potensi pemungutan PPh Badan dari perusahaan digital multinasional. Saat ini, pemerintah hanya dapat memajaki mereka melalui PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE), bukan PPh Badan.
Suryo juga menyoroti usulan OECD pada 2021 tentang dua pilar pajak global. Pilar 1 mengalokasikan hak pemajakan ke negara tempat konsumen berada, sementara Pilar 2 menetapkan tarif pajak minimum global 15% untuk perusahaan multinasional besar. Indonesia telah menerapkan Pilar 2 per 1 Januari 2025 melalui PMK No. 136/2024. Namun, Pilar 1 terkendala penolakan dari Presiden AS Donald Trump, yang berdampak pada upaya pemajakan perusahaan digital asal AS.
Dukungan Politik dari DPR
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyatakan kesiapan DPR untuk mendukung otoritas pajak dalam memperkuat aturan pemajakan perusahaan digital. “Kita harus memperkuat kedaulatan. Jika butuh instrumen aturan baru, kami siap membantu,” tegas Misbakhun.
Dengan tantangan regulasi dan global yang kompleks, upaya Indonesia untuk memajaki perusahaan digital asing masih membutuhkan langkah-langkah strategis, termasuk revisi UU PPh dan diplomasi bilateral. (***)
Leave a Reply